Kamis, 21 November 2024

Our Story

Berawal dari Kesederhanaan, Bersama Mewujudkan Generasi Islami Penuh Prestasi

Berawal Dari Masjid

Tepatnya pada tahun 1928 ketika warga Tegalsari mendirikan MASJID SWASTA pertama di daerah Surakarta yaitu Masdjid Tegalsari.

Mengapa disebut masjid swasta? Sebab masjid ini didirikan secara swadaya oleh warga Kampung Tegalsari. Pada saat itu, untuk mendirikan masjid prosesnya tidaklah mudah seperti sekarang, tetapi mesti mendapatkan persetujuan dari pihak Keraton Kasunanan. Tanah yang menjadi tempat untuk mendirikan masjid, merupakan wakaf dari K.H. Ahmad Shofawi, seorang saudagar batik. Tanah seluas 2000 m2 (lebar 40 m dan panjang 50 m) tersebut, dulunya disebut gramehan yaitu tempat untuk memelihara ikan gurami.

K.H. Ahmad Shofawi

Salah satu sesepuh Masdjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan, menjelaskan bahwa setelah selesai mendirikan masjid pada tahun 1928, kemudian muncul gagasan untuk membuat sebuah madrasah sebagai wahana pendidikan umat. “Ketika itu, sebelah selatan masjid masih ada sisa tanah. Kemudian para pendiri masjid ada yang usul, mbok dibuat madrasah,” ungkap beliau.

MARDI BUSONO

Kemudian ditunjuklah K.H. R.M. Adnan atau biasa dipanggil Den Kaji Ngadnan, dibantu beberapa orang, untuk merintis berdirinya sekolah di lingkup Tegalsari, yang bernama “Mardi Busono”. Pemilihan nama Mardi Busono ini bukan tanpa alasan.

Pertama, Mardi Busono memiliki makna baik yakni dari kata mardi = menata, dan busono = pakaian (busono ini juga dapat dimaknai agama, sebab dalam bahasa Jawa agama = ageming aji). Dengan kata lain Mardi Busono memiliki filosofi sebagai tempat untuk menata moral dan agama. Kedua, dipilihnya nama dari bahasa Jawa (bukan bahasa Arab) ini, sebagai taktik untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika itu tengah ketat dalam mengawasi kaum santri/pesantren, yang diduga banyak terlibat dalam aksi perjuangan melawan penjajah.

Asasut-Ta'mir

Sekitar tahun 1930-an, Mardi Busono berganti nama menjadi Al-Madrasah Al-Islamiyah Asasut-Ta’mir Tegalsari.

Keberadaan sekolah ini dapat dibuktikan dari sebuah foto bersama beberapa guru dan murid di depan tempat wudhu yang berlatar belakang papan tulis berlambang bola dunia dan bertuliskan Asasut-Ta’mir.

Bangunan sekolah sendiri terletak di selatan masjid (sekarang kantor guru), dan sebagian bertempat di sekitar jedhing pawudhon (tempat wudu) yang hanya dibatasi dengan kayu-kayu. Pada zaman pendudukan Belanda, kelas sempat dipindah ke sebelah utara masjid, karena bangunan sekolah digunakan sebagai markas Belanda.

Usai persoalan perang yang berimbas pada persoalan politik dan ekonomi, pun berdampak pada kelangsungan Sekolah Asasut-Ta’mir. Lambat laun, bak seleksi alam, Asasut-Ta’mir mulai ditinggalkan para peminatnya. Menjelang tahun 1960-an Asasut-Ta’mir yang vakum, kemudian berganti menjadi sekolah model madrasah diniyah sore, yang pengajarannya hanya fokus pada pelajaran agama.

Bangunan sekolah yang tidak terpakai di pagi hari, sempat dimanfaatkan (dipinjamkan) untuk Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA) Nahdlatul Ulama, yang kelak menjadi cikal bakal Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU, kini menjadi UNU Surakarta).

Dimulai dari Kesederhanaan

Sekitar tahun 1968, geliat masyarakat Tegalsari untuk menghidupkan pendidikan melalui sekolah dasar kembali muncul.

Melalui peran ibu-ibu yang dipelopori antara lain Dra. Nur Hayati binti Alwi, Hj. Nafiah, Hj. Mudrikah, Hj. Muttakiah, Nyai Ishom serta didukung tokoh lain seperti K.H. Naharussurur, Noto Kartono, K.H. Abdul Karim, Hartini Machasin, Fatimah Ardani, dan lain sebagainya. Mereka mendirikan sebuah sekolah yang alhamdulillah masih bertahan dengan baik hingga sekarang, yaitu SD Ta’mirul Islam Surakarta. Menurut sesepuh Masjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan, nama Ta’mirul Islam merupakan pemberian dari K.H. Naharussurur.

Pada awal berdiri, sekolah ini belum memiliki bangunan sekolah yang besar, siswanya pun masih sedikit.

Salah satu siswa angkatan pertama yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Alqur’aniyy, KH Abdul Karim Ahmad (Gus Karim) mengungkapkan, ketika itu jumlah siswa baru 17 anak. “Kita masuk setiap hari, libur Jumat, dengan pakaian bebas. Baru ada seragam biru putih, kalau tidak salah, baru setelah kelas III. Saya juga ingat, setiap kami diajari latihan baris-berbaris, kami ditertawakan, ya banyak warga seperti sinis dengan jumlah siswa yang sedikit, tapi sekarang alhamdulillah,” ungkap beliau.

Para pengajar pun masih bisa dihitung dengan jari.

Mereka adalah Hj. Nafiah (Kepala Sekolah) beserta suaminya, Bapak Khusnan. Pada angkatan pertama, keduanya dibantu Ibu Hj Mudrikah, hingga pada perkembangannya muncul guru-guru baru, seperti Bapak Sulamdi Paranto (Bahasa Indonesia), Ibu Saroh bin KH Muhammad Sulaiman, dan Ibu Tamsinah. Dedikasi mereka, patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, dengan bayaran yang tidak seberapa (untuk bisyarah guru diambil dari besek atau kotak amal masjid, yang dibagi untuk keperluan masjid dan para guru,-red), mereka dengan ikhlas dan penuh kesabaran mendidik para murid, yang kebanyakan berasal dari masyarakat bawah.

Pada perkembangannya, tahun 1971 Yayasan Ta’mirul Masjid Tegalsari pun berdiri.

SD Ta’mirul Islam, kemudian menginduk di bawah yayasan tersebut. Bangunan sekolah yang terletak di sebelah selatan masjid, setelah UNU pindah ke daerah Penumping, dipakai untuk SD Ta’mirul Islam Surakarta, hingga sekarang.

Babak baru pun dimulai. Tahun demi tahun dilalui dengan penuh perjuangan, mulai dari siswa yang berjumlah belasan anak, kini SD Ta’mirul Islam Surakarta memiliki ribuan siswa. Bahkan kemudian lahir SMP, MI, dan Pesantren Ta’mirul. Semua itu tidak lepas dari jasa para pendahulu, yang telah menanamkan pondasi awal yang kuat, dengan penuh jiwa keikhlasan dan kesederhanaan mereka.