Pertanyaan itu selalu muncul sebagai momok, sebagai hantu yang menakutkan. Betapa tidak, membaca adalah bekal dasar pendidikan, dan pertanyaan itu muncul seolah sebagai keterlanjuran yang tak kunjung selesai. Dalam sebuah penelitian internasional belum lama ini, kita mendapat peringkat membaca 60-an dari 70 negara peserta. Sedih?
Orang yang tidak membaca tidak memiliki keunggulan daripada orang yang tidak bisa membaca.
(Mark Twain, Penulis, 1835 – 1910)
Suatu saat, saya berdiri di depan kelas dengan sebuah pertanyaan: apakah minat baca harus diajarkan di kelas-kelas, atau bergerak secara alami berdasar naluri?
Saya menulis soal-soal latihan di papan tulis dan mengakhirinya dengan intruksi: Yang sudah selesai, boleh dikumpulkan, dan silahkan membaca buku! Saya meletakkan beberapa komik dan buku baru sebagai pemancing.
Dan yang terjadi di luar dugaan. Kelas yang biasanya lambat, tiba-tiba menjadi cepat. Mereka menyelesaikan soal dengan cepat, dengan harapan agar segera membaca buku. Kesimpulannya adalah bahwa membaca memang sebuah naluri. Sebuah kebutuhan yang bisa jadi harus dipenuhi. Namun sekaligus membaca merupakan kegiatan yang harusnya diajarkan dengan berbagai stimulus baca di kelas. Sebagaimana pelajaran yang lain, pelajaran membaca ini harus dimulai sedini mungkin.
Kurikulum Membaca
Di negara-negara lain, membaca adalah sebuah mata pelajaran yang berdiri sendiri. Ada jam pelajaran khusus, siswa memilih dan membaca buku yang diinginkannya, dan membaca buku itu hingga selesai. Sedangkan di kurikulum kita, kegiatan itu secara resmi belum pernah ada. Pada kurikulum kita, membaca bukan sebuah kebutuhan. Membaca adalah sebuh tindakan praktis, yakni mengenal huruf dan angka, sehingga kelas hanya berisi materi terkait dengan pembelajaran.
Adalah sebuah tindakan gegabah untuk menitipkan pelajaran membaca pada pelajaran Bahasa Indonesia, bercampur dengan materi-materi kebahasaan, awalan dan akhiran, puisi, dan seterusnya. Sedangkan kesadaran mengenai apa dan mengapa kita harus membaca, sama sekali tidak disinggung. Kurikulum tiga belas membuat perubahan dengan beberapa pengurangan muatan materi, namun pola yang diberlakukan terhadap kegiatan membaca kurang lebih sama. Komposisi literasi hanya sebatas pelajaran moral dan sopan santun, belum menyentuh aspek kesadaran membaca, apalagi mengembangkan bacaan. Siswa hanya diarahkan pada hal-hal praktis. Upaya pengembangan minat baca belum menjadi sasaran.
Kurikulum yang ada selama ini melihat bahwa membaca bukan keutamaan dalam proses belajar, bahwa membaca buku bukan ciri khas pada pelajar kita. Pelajaran di sekolah berdasar pada pola yang lagi-lagi berorientasi pada penilaian tertulis, bukan kesempatan atau kesadaran untuk mengembangkan minat dasar. Pembelajaran bukan lagi berdasar kebutuhan dasar namun harus memenuhi kuota dan taget-target tertentu. Siswa tidak diperkenalkan untuk kembali pada buku, pada kegiatan membaca. Siswa hanya diberikan petunjuk untuk melakukan ini, memahami ini, dan menghafalkan ini. Ada hal besar yang pada akhirnya terlewati, yaitu proses membaca untuk menemukan.
Tidak sepenuhnya menyalahkan keadaan, tapi melihat pada sisi jauh pendidikan yang sedang berjalan, semua itu terjadi karena sekolah (dalam hal ini kurikulum) tidak ada greget untuk menghidupkan buku dan bacaan sampingan sebagai kebutuhan, sehingga nyaris mustahil kesadaran membaca akan muncul dengan sendirinya. Poros pendidikan masyarakat dimulai dari sekolah, dari kelas-kelas, namun buku dan pembaca harus bermilitansi sendiri di luar kelas, pada club baca buku, pada komunitas-komunitas, yang intinya adalah berjaraknya antara siswa dan buku. Ini ironi. Dengan pola ini minat baca tetaplah sebuah utopia, bayangan yang jauh dari harapan. Perpustakaan dibangun dengan megah, buku-buku dicetak dengan biaya yang tidak murah, namun kita hanya berkutat dengan materi dan buku-buku sekolah dan minat baca yang masih rendah.
Ketika berdiri di depan kelas, terkadang saya berkhayal dan meneropong ke depan, ke arah masa depan anak-anak bangsa ini. Bisa jadi materi yang saya sampaikan pada mereka tidak memberikan faedah lebih selain dari kesibukan mereka untuk menghafalnya. Bahkan bisa jadi buku-buku ini akan menjadi trauma yang tak ingin diingatnya.
Kita harus mulai menyadari bahwa dunia berputar dengan cepat, namun pengetahuan bergerak jauh lebih cepat. Hanya membacalah yang bisa menjembatani kebutuhan dna keadaan ini. Keadaan harus diubah. Kita membutuhkan kurikulum membaca, kurikulum yang menghidupkan kesadaran dan karakter membaca dalam proses pembelajaran. Membaca harus menjadi kurikulum independen, bukan dengan menumpang mata pelajaran lain. Dua atau tiga jam setiap minggu, siswa membaca buku apa saja sesuai keinginan mereka. Siswa membaca lalu mendiskusikan kesulitan, keindahan, maupun pengalman yang ditemuinya ketika membaca kepada guru atau teman. Dan sebagaimana mata pelajaran lain, mata pelajaran membaca memiliki target dan penilaian lebih jauh: pembentukan karakter, atau bahkan pengembangan potensi yang dimilikinya. Dipastikan, itu akan jauh lebih bermakna bagi mereka ketimbang menghafal sesuatu yang tak selalu mereka butuhkan di masa mendatang.
Dalam hal membaca, kita memang harus menghela nafas panjang. Dan ketika kita masih mengulangi kembali pertanyaan yang selalu menjadi momok itu, apakah kita juga akan bersikap apatis terhadap kutipan di awal tulisan ini? Wallahu a’lam Bishowab.
Surakarta, Februari 2017
Tulisan ini telah dimuat di kolom Pendidikan
Majalah Basis edisi April, Nomor 03 – 04, tahun ke-67, 2018-04-17
dengan judul Membaca
Tulisan telah diedit dan disesuaikan.
Menurut pegiat literasi dari Universitas Airlangga untuk menumbuhkan minat baca masyarakat pada saat ini harus dilandasi dengan kesadaran setiap individu untuk melakukan proses belajar atas inisiatif sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Selain itu, meningkatkan minat baca masyarakt dapat diupayakan melalui literasi informasii. Dia mengatakan, masyarakat perlu diberi stimulun dengan informasi-informasi yang tersedia dari berbagai sumber terpercaya. Sumber : //news.unair.ac.id/2020/08/20/soal-minat-baca-masyarakat-perlu-menjadi-insan-pembelajar-mandiri/